Floating Image
Floating Image
Selasa, 20 Mei 2025

Bangkit Itu Keren: Ketika Semangat Nasionalisme Menemukan Wajah Barunya di Kalangan Anak Muda


Oleh Alifa Fajri
20 Mei 2025
tentang Pendidikan
Bangkit Itu Keren: Ketika Semangat Nasionalisme Menemukan Wajah Barunya di Kalangan Anak Muda - Sport Jabar

Kebangkitan Nasional seharusnya tidak tinggal di buku sejarah. Ia hidup dalam semangat berkarya, belajar tanpa batas, berani beda, dan mencintai tanah air.

261 views

SPIRITKITA.ID - Tanggal 20 Mei, adalah hari istimewa bagi bangsa indonesia karena tanggal itu merupakan Hari Kebangkitan Nasional. Tapi, seiring waktu di jaman moderen seperti sekarang sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh generasi muda yakni apakah benar-benar memahami makna “bangkit” yang sesungguhnya? Ataukah ini hanya sekadar seremoni tahunan yang lewat begitu saja, atau ada getaran makna yang masih bisa kita rasakan di zaman serba digital seperti sekarang?

Mengulas sejarah, lebih dari seabad lalu, tepatnya pada 20 Mei 1908, sebuah organisasi lahir bernama Boedi Oetomo. Bukan organisasi biasa. Ia adalah cikal bakal gerakan kebangkitan bangsa, tonggak awal kesadaran nasional sebagai satu Indonesia. Bukan lagi berbicara kerajaan per kerajaan, bukan lagi suku per suku. Tapi awal rakyat nusantara menyadari bahwa masa depan harus diperjuangkan bersama.

Kini, 117 tahun berlalu. Dunia berubah. Penjajahan fisik sudah tak ada. Tapi penjajahan lain masih bersembunyi: kemiskinan, kebodohan, hoaks, konsumtifisme digital, bahkan rasa tidak percaya diri sebagai bangsa besar.

Lantas, apa arti Kebangkitan Nasional bagi anak muda hari ini?

“Bangkit itu bukan soal perang, tapi soal keberanian bersuara dan berkarya.”

Itu kalimat dari Indira Puspita (22 tahun), mahasiswi desain komunikasi visual di Bandung yang aktif mengelola akun edukasi soal budaya lokal di Instagram. Ia percaya, kebangkitan zaman sekarang bukan lagi angkat senjata, tapi angkat karya.

“Kalau dulu para tokoh kita berjuang lewat pidato dan organisasi, sekarang anak muda harus bisa bangkit lewat karya. Kita tuh kaya banget — dari budaya sampai ide, tapi kadang minder dan lebih suka hal dari luar negeri,” ucap Indira.

Kebangkitan itu soal kebermanfaatan

Sementara itu, bagi Yusuf Maulana (25 tahun), pegiat literasi digital di Garut yang membangun komunitas belajar daring untuk siswa-siswa Desa, kebangkitan berarti menjadi jembatan perubahan.

“Saya enggak muluk-muluk, Kang. Kalau saya bisa bantu anak-anak di kampung ngerti literasi digital, itu udah kebangkitan versi saya. Bangkit dari ketidaktahuan. Bangkit dari rasa ‘kita mah cuma di pinggiran’,” katanya penuh semangat.

Yusuf membuktikan bahwa bangkit bisa lewat hal kecil — asalkan konsisten dan berdampak.

Kita adalah penerus, bukan penikmat

Kebangkitan Nasional seharusnya tidak tinggal di buku sejarah. Ia hidup dalam semangat berkarya, belajar tanpa batas, berani beda, dan mencintai tanah air dengan cara masing-masing. Di era media sosial dan teknologi yang berkembang pesat, anak muda punya panggung lebih luas untuk bicara dan beraksi.

Hari ini, mungkin kita tak lagi mengangkat bambu runcing. Tapi kita bisa mengangkat mikrofon, gawai, kamera, pena, atau coding-an — untuk menyuarakan kebenaran, menyebar inspirasi, dan membangkitkan sesama.

Kita bukan hanya penikmat kemerdekaan, tapi juga penerus kebangkitan. Dan seperti kata Indira, “Bangkit itu keren. Karena kita bukan generasi rebahan, tapi generasi perubahan.”

Baca Juga :  Kenakalan Remaja Bisa Dicegah Berikut Caranya dan Tips Untuk Orang Tua

Baca Juga :
Korupsi di Indonesia: Dari Pejabat hingga Perlawanan Generasi Muda

Baca Juga :
Berikut 3 Keuntungan Review Produk Oleh Media Massa

(*)

Penulis

Alifa Fajri

Berita Lainnya dari Pendidikan