dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi, masih ada guru yang tetap melangkah demi mengabdi kepada nusa dan bangsa, melahirkan anak bangsa yang tangguh dan berkualitas.
SPIRITKITA.ID - Bagaimana rasanya ya menjadi guru di pelosok ? Fasilitas yang minim dan medan berat menjadi tantangan yang harus ditaklukan. Meski dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi, masih ada guru yang tetap melangkah demi mengabdi kepada nusa dan bangsa, melahirkan anak bangsa yang tangguh dan berkualitas. Sebagai ilustrasi Redaksi sajikan 2 kisah guru yang yang mengabdi di pedalaman Kalimantan Barat dan Papua.
Di atas langit yang jernih, seekor burung elang melintasi hutan lebat Kalimantan dan pegunungan terjal Papua. Dari atas, dunia tampak luas dan indah. Tapi di bawah sana, ada sosok-sosok yang diam-diam menyalakan cahaya peradaban. Mereka adalah guru-guru yang mengajar di titik-titik paling terpencil negeri ini, tempat di mana sinyal tak menjangkau, dan jalan setapak menjadi satu-satunya akses menuju masa depan.
Namanya Bu Nur, guru honorer di sebuah desa kecil di pedalaman Kalimantan Barat. Tiap pagi, ia menyusuri hutan dengan motor tuanya, lalu berjalan kaki sejauh dua kilometer menyeberangi jembatan bambu yang rapuh. Murid-muridnya tak banyak, hanya 15 anak. Tapi setiap dari mereka, katanya, adalah dunia kecil yang harus dijaga.
“Kadang saya tanya pada diri sendiri. Apa cukup semua ini? Gaji Rp350 ribu sebulan, sinyal tak ada, kadang listrik juga mati. Tapi tiap kali lihat anak-anak itu tertawa waktu saya ajarkan membaca... hati saya penuh.” gumamnya.
Sebagai ungkapan sekaligus penenang hati dengan kondisi yang ia rasakan, bu Nur kadang menyapa dengan seekor burung yang hinggap di jendela sekolah reyotnya:
“Kau bisa terbang ke mana saja. Tapi aku memilih tinggal di sini. Membangun sayap untuk mereka. Dengan caraku.” kata hatinya sambil tatap si burung cantik.
Di sisi lain negeri, Pak Amos mengajar di sebuah Sekolah Dasar di lereng pegunungan Papua. Setiap Senin, ia harus naik ojek gunung selama dua jam, lalu mendaki bukit dengan beban penuh di punggung: buku, alat tulis, dan kadang bekal makanan untuk seminggu. Sekolah tempatnya mengajar berdinding kayu, lantainya tanah, dan papan tulisnya retak. Tapi semangat murid-muridnya menyala, seperti api kecil di tengah kabut.
“Mereka memanggil saya Bapa Guru, dengan tatapan penuh harap. Mereka bilang ingin jadi dokter, tentara, atau guru juga. Itu alasan saya tak bisa berhenti,” katanya.
Kadang ia berdiri di ujung tebing, memandang jauh ke bawah lembah, lalu berkata pelan:
“Lihatlah, Burung Cenderawasih… kau indah dan bebas. Tapi aku di sini, menjahit mimpi yang patah, agar mereka bisa terbang sepertimu suatu hari nanti.”
Satu Semangat, Beribu Jalan
Bu Nur dan Pak Amos tidak saling kenal. Mereka hidup di dua ujung negeri, berjalan di jalur yang berbeda, namun dengan satu semangat yang sama: mengabdi. Tak banyak yang tahu nama mereka. Tapi nyala yang mereka jaga telah menerangi jalan bagi generasi berikutnya.
Dan kita, di kota-kota dengan kemewahan teknologi dan pendidikan, semestinya belajar dari mereka, bahwa pendidikan bukan soal fasilitas semata, tapi keberanian untuk tetap berdiri di tempat paling sepi, dan berkata,