SPIRITKITA.ID - Lebaran semakin di depan mata, suka cita pun dirasakan oleh setiap umat muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia yang memiliki ragam tradisi yang unik dan inspiratif salah satunya saling mengantarkan makanan kepada tetangga atau saudara.
Tradisi ini sudah ada sejak dulu yang menggambarkan betapa kuatnya rasa kekeluargaan dan kebersamaan saat jelang idulfitri. Saling mengantarkan makanan ini biasanya dilakukan beberapa hari jelang Lebaran yang diantarkan oleh seorang anak. Rantang yang bersusun menjadi alat pengantar makanan tersebut. Begitu sampai ditujuan, si pengantar umumnya kembali membawa makanan untuk dibawa pulang.
Tradisi ini pada umumnya dilakukan di pedesaan atau pelosok tapi ada juga dilakukan di daerah perkotaan. Tapi seiring waktu, tradisi ini mulai terkikis oleh perkembangan jaman. Anak generasi milineal tidak akan mengalaminya bahkan mugkin tidak tahu adanya tradisi ini.
Sebagai bahan memori, Redaksi akan sajikan pengalaman seorang pria yanag kini sudah berusia 50 tahun bernama Rian. Dulu waktu kelas 4 sampai kelas 6 SD, ia pernah mengalami tradisi ini.
Berikut kisahnya.
Rantang untuk Lebaran
Matahari mulai condong ke barat, langit sore berwarna jingga kemerahan. Di sebuah Desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, Rian, berlari-lari kecil keluar rumah sambil membawa rantang bertingkat. Tangan kecilnya menggenggam erat pegangan rantang yang sedikit berayun di setiap langkah.
Seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya, tugasnya sore ini adalah mengantarkan makanan ke rumah saudara dan tetangga. Rantang itu berisi oseng tempe, nasi hangat, dan rengginang yang masih renyah. Baginya, ini bukan sekadar tugas, ini adalah petualangan kecil yang selalu ia nantikan setiap tahun.
Perjalanan di Jalanan Desa
Setelah sholat Asar, jalanan Desa masih lengang, hanya ada beberapa orang tua duduk di depan rumah mereka sambil berbincang santai menunggu beduk Maghrib. Rian berjalan melewati jalan tanah yang membelah sawah, diiringi suara jangkrik yang mulai muncul dari semak-semak.
“Rian, lagi antar rantang ya?” suara Pak Udin, tetangga sebelah, terdengar ramah.
“Iya, Pak! Buat keluarga di ujung kampung!” jawab Rian sambil tersenyum, menunjukkan rantang di tangannya.
Di tengah perjalanan, ia bertemu teman-temannya yang juga sedang mengantarkan makanan. Ada Iwan yang membawa rantang lebih besar, dan Siti yang menenteng plastik berisi kue-kue Lebaran. Para bocah ini pun, berdiskusi untuk jalan bersama-sama.
“Rian, kita ke rumah Aki Tarjo dulu yuk!” ajak Iwan. Mendengar ajakan temannya itu, Rian dengan sigap menyambutnya dengan gembira.
“Ayo! Siapa tahu kita dikasih dodol juga!” sahut Rian bersemangat.
Lalu, ketiganya berjalan bersama, sesekali bercanda dan saling menebak-nebak makanan apa yang akan mereka terima nanti.
Tukar Rantang, Tukar Cerita
Sesampainya di rumah-rumah tujuan, mereka menyerahkan rantang dengan wajah penuh semangat. Tuan rumah pun tersenyum hangat, mengucapkan terima kasih sambil membalas dengan memberikan makanan lain.
“Ini, buat kalian. Bilang ke ibumu, jangan lupa makan dodolnya ya,” kata Aki Tarjo, sambil menyisipkan bungkusan kecil berisi dodol dan kerupuk ke dalam rantang Rian.
Rian mengangguk senang. Ini yang selalu ia tunggu-tunggu: pulang dengan rantang yang berisi sesuatu yang berbeda dari yang ia bawa.
Sebelum bedug Maghrib, mereka berpisah di persimpangan jalan. Rian berlari kecil menuju rumah, merasakan angin sejuk yang bertiup di wajahnya dan segera akan berbuka puasa. Setibanya di rumah, ia menyerahkan rantang kembali kepada ibunya.
“Bu, tadi AkiTarjo ngasih dodol! Katanya jangan lupa dimakan!” ujar Rian dengan mata berbinar.
“Alhamdulillah, sini Ibu lihat. “Tuh kan, apa Ibu bilang? Kalau kita berbagi, pasti akan ada yang kembali.”
Rian mengangguk. Baginya, rantang itu bukan sekadar tempat makanan. Ia adalah wadah kehangatan, kebersamaan, dan tradisi yang membuat Lebaran selalu terasa istimewa. Baca Juga : Mengenal Sisi Lain Bulan Ramadan: Tantangan dan Harapan