SPIRITKITA.ID - Ketika hidup terlihat sempurna di luar, tetapi hampa di dalam Tara menyadari, pencapaian bukan segalanya.
Tara menatap layar laptopnya. Di hadapannya, grafik performa kerja melesat naik. Klien besar masuk satu per satu. Atasan mengapresiasi. Bonus akhir tahun melampaui ekspektasi. Tapi malam itu, yang hadir bukan rasa bangga. Hanya sepi. Dingin.
"Aku sudah punya semuanya yang dulu aku kejar. Tapi kenapa aku malah merasa kehilangan diriku sendiri?"
Jurnal malam Tara, Maret 2025.
Tara, 29 tahun, adalah gambaran sukses dari luar. Lulusan terbaik, cepat naik jabatan, dikenal banyak orang sebagai sosok pekerja keras dan cerdas. Tapi siapa sangka, dalam kesibukannya, Tara semakin menjauh dari dirinya sendiri. Hidupnya hanya tentang menyelesaikan tugas berikutnya, mengejar target berikutnya, membuktikan pada dunia... entah untuk apa.
“Setiap pencapaian hanya terasa penting satu menit setelah diumumkan. Setelah itu, kosong lagi.”
Kutipan dari jurnal Tara
Ketika Validasi Menjadi Racun Diam-diam
Tak sedikit dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kesuksesan adalah bahagia. Kita diajari untuk mengejar ranking, gaji tinggi, status sosial. Tapi semakin banyak orang seperti Tara yang mulai bertanya: benarkah pencapaian luar bisa menjamin kedamaian dalam?
Kita hidup di era pujian dan pencitraan. Media sosial memoles hidup jadi pameran kesempurnaan. Padahal, tak ada yang benar-benar tahu isi hati seseorang di balik senyum lebar di LinkedIn atau unggahan "productive day" di Instagram.
Berhenti Sebentar, Bertanya Lagi: Siapa Aku?
Tara akhirnya memilih cuti sejenak. Ia tak tahu pasti mau ke mana, tapi ia tahu satu hal: ia ingin kembali pulang — ke dalam dirinya sendiri.
Ia mulai menulis jurnal lagi, membaca buku-buku yang dulu ia sukai, mendengarkan musik lama yang pernah ia tinggalkan karena terlalu sibuk "jadi dewasa".
“Aku tak ingin hidup hanya untuk terlihat sukses. Aku ingin merasa hidup, benar-benar hidup.”
Refleksi untuk Kita Semua
Editorial ini bukan hanya tentang Tara. Ini tentang siapa pun yang pernah merasa lelah meski sedang "di puncak". Tentang mereka yang sudah mendapatkan apa yang diimpikan, lalu bingung, "setelah ini apa?"
Pencapaian tidak salah. Tapi jika itu jadi satu-satunya tolok ukur nilai diri, maka kita akan terus haus dan tak pernah puas. Bahagia bukan soal apa yang kita miliki, tapi bagaimana kita hadir untuk diri sendiri, dan merasa cukup meski tidak sempurna.
Dan kamu, apa kabar hari ini? Apakah kamu sedang mengejar sesuatu, atau diam-diam sedang kehilangan sesuatu dalam dirimu?