Halimah berasal dari keluarga religius. Pergaulan bebas mulai membentuk karakternya sejak kelas 4 SD, terutama setelah berteman akrab dengan anak seorang penyanyi.
SPIRITKITA.ID – Tak banyak yang tahu, sebelum tampil Islami dan jadi juara lomba Tazwid Qur’an, Halimah Tussyadiah adalah seorang remaja yang pernah hidup dalam dunia punk.
Gadis kelahiran Bandung, 3 Desember 2000 ini, dulunya hanya mengenakan kerudung saat keluar rumah. Namun, ketika berkumpul bersama teman-temannya, ia kembali melepas jilbab, mengenakan celana ketat, dan nongkrong di jalan sambil hura-hura. Pernah pula ia papalidan (menyusup ke stadion) hanya demi melihat Persib Bandung bertanding.
Padahal, Halimah berasal dari keluarga religius. Pergaulan bebas mulai membentuk karakternya sejak kelas 4 SD, terutama setelah berteman akrab dengan Wulandari—anak seorang penyanyi asal Jakarta. Lingkaran pertemanan Wulandari yang mayoritas anak jalanan membuat Halimah ikut terjebak dalam gaya hidup bebas.
Melihat tanda-tanda memburuk, orang tuanya memutuskan untuk memasukkan Halimah ke pesantren saat SMP. Sayangnya, keputusan itu belum membuahkan hasil. Bukannya berubah, Halimah justru makin menjadi-jadi. Ia melawan guru, melanggar aturan pondok, dan bahkan beberapa kali diancam dikeluarkan.
Setiap pulang ke rumah, Halimah kembali bergabung dengan geng-nya. Terminal dan rel kereta menjadi tempat favorit untuk nongkrong. Orang tuanya dibuat stres, hingga jatuh sakit karena memikirkan perubahan drastis anak mereka.
Momen Kehilangan yang Mengubah Segalanya
Segalanya berubah saat Wulandari, sahabat dekatnya, berpamitan pindah ke Jakarta untuk mengikuti jejak orang tuanya menjadi penyanyi. Namun takdir berkata lain—Wulandari meninggal karena kanker otak, tepat ketika sedang menyaksikan sang ibu bernyanyi di atas panggung.
“Dari situ saya sadar, ternyata mati bisa datang kapan saja,” kata Halimah kepada redaksi spiritkita.id.
Sejak kejadian itu, Halimah bertekad untuk berubah. Ia ingin membuktikan pada kedua orang tuanya bahwa ia bisa menjadi anak yang baik, dan membuktikan pada teman-temannya bahwa dirinya bisa berprestasi.
Perjuangan itu tidak mudah. Ia sampai membawa Al-Qur’an ke kamar mandi demi menjaga hafalan dan semangat hijrahnya. Namun hasilnya luar biasa: Halimah terpilih menjadi Ketua OSIS dan juara Tazwid Qur’an di sekolahnya.
“Anak Punk Itu Bukan Sampah”
Kini, Halimah tak ingin dipandang hanya dari masa lalunya. Ia juga berharap masyarakat tidak langsung menghakimi anak-anak punk.
“Jangan jauhi atau rendahkan mereka. Yang Halim tahu, kebanyakan dari mereka itu broken home. Mereka punya masalah besar yang enggak ada yang bisa bantu. Tapi mereka tetap cari uang sendiri, walau hanya dari ngamen. Solidaritas mereka tinggi, mental mereka kuat,” jelasnya.