Pengalaman pertamanya mengajar di sebuah SD saat semester tiga, justru jadi titik balik. Perlahan, ia mulai menemukan semangat dalam profesi ini. (foto ilustrasi)
SPIRITKITA.ID – Tak pernah membayangkan menjadi guru, Elsafitri Hidayat justru menemukan panggilannya di dunia pendidikan setelah menerima tantangan dari sang ibu: jika kuliah, harus di perguruan tinggi negeri (PTN).
Elsafitri, atau akrab disapa El, lebih tertarik pada dunia kesehatan ketimbang mengikuti jejak ibunya sebagai guru. “Cukup ibu saya saja yang jadi guru,” begitu pikirnya saat itu. Namun karena gagal masuk PTN, El akhirnya memilih program studi PGSD—sesuatu yang awalnya tak ia minati.
“Pas awal ngajar, saya pengen nangis. Ya Allah, saya enggak mau jadi guru. Tapi pas lihat anak-anak, kasihan. Saya enggak bisa apa-apa, dan saya enggak mau mereka jadi bahan percobaan. Saya juga dulu enggak suka kalau punya guru yang belum siap,” kenangnya sambil tertawa.
Pengalaman pertamanya mengajar di sebuah SD saat semester tiga, justru jadi titik balik. Perlahan, ia mulai menemukan semangat dalam profesi ini. “Saya harus pinterin anak orang. Saya harus ngerti apa yang saya ajarkan. Anak kecil itu antusias kalau punya guru baru, apalagi perempuan. Sambutannya luar biasa,” ujarnya.
Seiring waktu, El makin menikmati peran barunya sebagai pendidik. Hubungannya dengan para murid makin erat. Perempuan kelahiran 1996 ini yang juga hobi kuliner berharap, pemerintah memberikan perhatian lebih pada nasib guru.
“Pendidik itu dituntut banyak hal: harus lulusan ini, enggak boleh itu. Tapi dari pemerintah sendiri kadang kurang mendukung. Kalau guru SD harus S1, kenapa di dunia politik, lulusan SD pun bisa masuk? Itu enggak adil,” kritiknya tajam.
Memberi Perhatian pada Anak Broken Home
Salah satu pengalaman yang paling membekas bagi El adalah saat menghadapi murid broken home bernama Rahman. Saat UAS kelas IV, El mendapati Rahman tak mengerjakan soal. Ketika didekati, anak itu justru marah, melempar kertas, dan keluar kelas sambil membawa tas.
El tak tinggal diam. Ia mencari tahu dari guru-guru senior dan mendapati Rahman tinggal bersama neneknya yang sudah sepuh setelah kedua orang tuanya bercerai dan meninggalkannya. Kondisi ekonomi keluarga pun sangat memprihatinkan.
“Makanan sehari-harinya cuma geong, ampas ubi. Enggak ada perhatian dari orang tuanya. Sekolah dan pemerintah sempat bantu, tapi malah ayahnya sempat marah karena bantuan enggak langsung ke dia,” cerita El prihatin.
Meski Rahman kini sudah naik kelas dan tak lagi diajar oleh El, ia tetap memperhatikannya. El rutin memberi motivasi agar Rahman bisa sukses dan membuktikan pada orang tuanya bahwa ia bisa bangkit.
Kini, Rahman duduk di bangku kelas satu SMP dan telah menunjukkan prestasi yang membanggakan.