Kisah Pak Rinto bukan untuk menghakimi generasi sekarang, tapi memberi pelajaran bahwa cinta itu seharusnya bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa dalam arti cinta.
SPIRITKITA.ID - Gaya pacaran zaman dulu, sekitar era 70-90an, memang identik dengan kesopanan, menjaga norma dan etika, disertai rasa malu yang tinggi. Nah, biar kamu tidak penasaran, Redaksi tampilkan ciri-ciri gaya pacaran jaman dulu :
1. Malu-malu tapi mau: Bisa pegangan tangan saja, sejuta bahagia sudah dirasakan ibaratnya malam tak dapat tidur, terrbayang saat berpegangan tangan sama si doi. Waktu itu kebanyakan pasangan menjaga jarak secara fisik karena norma sosial dan budaya waktu itu sangat kuat.
2. Apel ke rumah: Ini salah satu hal paling unik. Kalau cowok datang ke rumah cewek, biasanya disambut sama orang tua. Kadang malah harus ngobrol dulu sama bapaknya! Jadi pacaran itu bukan urusan dua orang saja, tapi satu keluarga tahu. Kalau sekarang mirip interogasi lah.
3. Ditemani teman atau saudara: Jarang sekali pacaran berdua aja. Biasanta bawa teman atau adik jadi semacam "pengawas sosial", sekaligus bentuk kehormatan juga. Dan biasanya kalau ngobrol berdua kadang suka kehabisan materi, jadi suka pada diam. Tapi kalau bawa pengawal ada aja yang diobrolin, kaga kehabisan materi.
4. Komunikasi terbatas: Tanpa HP atau internet, komunikasi andalannya surat atau telepon umum. Jadi kalau mau ketemuan cari telepon umum atau sebelumnya kasih surat dulu buat janjian. Momen ketemu itu sangat dinanti dan punya kesan mendalam karena perjuangan melelahkan.
5. Pacaran adalah proses serius: Bukan cuma main-main. Banyak yang menganggap pacaran itu langkah awal menuju pernikahan, jadi lebih berhati-hati dan penuh tanggung jawab.
Bandingin deh dengan sekarang yang serba cepat, instan, dan kadang cenderung permisif. Teknologi bikin semuanya gampang: ketemu, ngobrol, bahkan putus pun bisa cuma lewat chat. Tapi sisi buruknya juga terasa: batas-batas jadi kabur, dan kadang lupa esensi dari menjalin hubungan itu sendiri.
Kisah Cinta Jadul Seorang Pria: Memori Penuh Makna
Pacaran di era milineal bisa jadi semudah mengetuk layar ponsel. Mulai dari kenalan, ngobrol, sampai jalan bareng, semua terasa cepat. Tapi beda dengan zaman dulu. Waktu masih belum ada internet, apalagi media sosial, pacaran dijalani dengan cara yang jauh lebih sederhana dan penuh rasa malu.
Terkait ini, Redaksi ngobrol dengan Pak Rinto (67), seorang pensiunan guru dari Bandung. Dengan senyum kecil, beliau mulai bercerita soal masa mudanya.
“Dulu tuh, saya pertama kali naksir sama istri saya sekarang waktu masih SMA. Tapi ya malu banget. Mau ngobrol langsung aja deg-degan. Kalau surat-suratan baru berani.” katanya santai.
Pak Rinto mengaku dulu komunikasi paling sering lewat surat yang dititipkan teman. Lalu menunggu kabar dari teman yang menitipkan surat dan menanyakan keadaannya.
“Zaman saya, gak ada tuh chatting atau teleponan. Surat itu ditulis tangan, bisa 3-4 hari baru dibalas. Tapi justru karena nunggu lama, jadi lebih berkesan.” lanjut pria yang sudah punya cucu 2 ini.
Ketika akhirnya berani mengajak sang pujaan hati jalan, itu pun tidak dilakukan berdua. Pada waktu itu, sangat bangga jika ngajak teman-teman jalan sementara dirinya jalan dengan orang yang dicintai. Candaan dan guyonan sohib-sohibnya membuat suasana semakin ceria dan bahagia.
“Biasanya saya ajak teman, dia juga bawa sepupunya. Jalan rame-rame naik BEMO. Dulu sih gak kepikiran mau jalan berdua. Kita malah bangga kalau bisa bawa pacar ketemu temen-temen. Ada rasa hormat dan menjaga.” tuturnya tersenyum.
Di rumah pun, pendekatan dilakukan dengan cara yang sopan. Apel ke rumah bukan sekadar datang, tapi bagian dari proses pengenalan yang serius. Orangtuanya yang pertama dihadapinya. Sementara sang kekasih masih di dalam. Setelah interogasinya cukup, si orang tua terutama sang ayah pergi. Kalau berdua, setelah cukup lama banyaknya pada diam. Bingung apa yang mau diobrolin.
“Pertama kali ke rumah dia, saya diminta ngobrol dulu sama bapaknya. Deg-degan luar biasa. Tapi itu jadi pelajaran soal tanggung jawab.” imbuhnya.
Sekarang, Pak Rinto melihat anak-anak muda pacaran dengan cara yang berbeda. Meski tidak menilai semuanya buruk, beliau khawatir batasan-batasan yang dulu dijaga kini mulai kabur.
“Sekarang ini banyak yang gampang banget putus-nyambung. Pegangan tangan, pelukan, bahkan lebih dari itu, dilakukan cepat sekali. Padahal dulu, sentuhan itu simbol komitmen besar.” terangnya.
Belajar dari Masa Lalu
Kisah Pak Rinto bukan untuk menghakimi generasi sekarang, tapi memberi pelajaran bahwa cinta itu seharusnya bukan soal seberapa cepat, tapi seberapa dalam. Zaman memang berubah, tapi nilai tentang rasa hormat, kesabaran, dan menjaga batasan tetap relevan.
Bagi generasi muda, penting untuk memahami bahwa hubungan sehat bukan hanya soal romantisme atau kebebasan, tapi juga tanggung jawab dan penghargaan satu sama lain.
Pacaran zaman dulu mungkin terkesan kaku, tapi justru di situlah rasa cinta diuji dalam diam, dalam usaha, dan dalam penantian.
Bagi generasi muda, penting untuk memahami bahwa hubungan sehat bukan hanya soal romantisme atau kebebasan, tapi juga tanggung jawab dan penghargaan satu sama lain.