SPIRITKITA.ID - Di Indonesia dan berbagai negara Muslim lainnya, kata “Syiah” seringkali terdengar seperti label yang menyeramkan. Terlalu sering, Syiah diidentikkan secara otomatis dengan Iran, dan lebih parah lagi, Syiah dianggap sesat, menyimpang, bahkan kafir oleh sebagian kalangan.
Tapi benarkah sesederhana itu?
Apakah semua yang bermazhab Syiah seperti yang digambarkan oleh ceramah-ceramah keras? Apakah Iran, negara mayoritas Syiah mewakili seluruh Syiah? Dan benarkah seluruh perbedaan Sunni-Syiah harus berujung pada permusuhan?
Syiah Itu Bukan Satu Blok Tunggal
Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa Syiah bukanlah kelompok tunggal. Bahkan Ayatollah Ali Khamenei yang merupakan pemimpin tertinggi Iran dalam banyak pidatonya menegaskan bahwa ada dua jenis Syiah:
Syiah Moderat (Mu’tadil): Mereka meyakini keimaman Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, namun tetap meyakini Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, menghormati Al-Qur’an, dan melaksanakan rukun Islam sebagaimana Muslim pada umumnya. Mereka tidak mencaci sahabat, dan menghormati Sunni sebagai bagian dari umat Islam.
Syiah Ekstremis (Ghulat): Ini adalah kelompok kecil yang meyakini hal-hal menyimpang, seperti menuhankan Ali, meyakini Al-Qur’an sudah berubah, atau mengutuk semua sahabat. Kelompok inilah yang dikecam oleh para ulama Syiah sendiri, termasuk Ayatullah Ali Khomeini sendiri.
Khamenei dan Seruan Persatuan Umat Islam
Salah satu hal paling menarik dan sering diabaikan adalah bahwa Iran secara resmi melalui Ali Khamenei berkali-kali menyerukan persatuan Islam. Jangan terprovokasi oleh media Barat yang memang mempunyai tujuan untuk memecah belah umat Islam demi kepentingan mereka.
Sebagai langkah kongkritnya adalah setiap tahun diadakan Pekan Persatuan Islam (Unity Week) yang mempertemukan ulama Sunni dan Syiah dari berbagai dunia. Dalam khutbah dan pidatonya, Khamenei mengecam keras kelompok yang menghina sahabat Nabi atau istri Nabi, karena menurutnya itu adalah provokasi untuk memecah belah umat. Dengan tegas ia mengatakan Israel, Amerika, dan Barat, berusaha membenturkan Sunni dan Syiah untuk melemahkan Islam dari dalam.”
Bahaya Menyamaratakan dan Stigma Buta
Salah satu masalah di dunia Islam hari ini adalah kecenderungan menyamaratakan. Semua yang Syiah dianggap sama. Semua yang dari Iran dianggap radikal. Padahal, di sisi lain, banyak kelompok Sunni juga memiliki ekstremisme, seperti ISIS, Al-Qaeda, dan lainnya.
Jika ekstremisme di Sunni tidak otomatis membuat Sunni sesat, maka mengapa ekstremisme di Syiah langsung membuat seluruh Syiah disesatkan? Sikap ilmiah dan adil adalah memisahkan antara Syiah moderat dan ekstremis, antara perbedaan mazhab dan penyimpangan akidah, antara Iran sebagai negara dan Islam sebagai ajaran.
Persatuan Islam Bukan Mimpi, Tapi Kebutuhan
Islam terlalu besar untuk direduksi hanya oleh satu mazhab. Jika perbedaan antara Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali bisa diterima dalam Sunni, mengapa perbedaan dengan Syiah yang juga punya sejarah keilmuan ribuan tahun tak bisa ditempatkan dalam konteks yang lebih adil?
Jika Nabi Muhammad mengajarkan kasih sayang, ukhuwah, dan keadilan, maka sikap kita terhadap Syiah atau siapa pun harus berangkat dari ilmu, bukan dari prasangka.
Untuk Umat yang Ingin Bangkit, Bukan Terpecah
Kita percaya bahwa perpecahan hanya akan melemahkan umat. Jika kita terus sibuk mengkafirkan sesama Muslim, lalu siapa yang akan menjaga Palestina? Siapa yang akan membela kebenaran? Siapa yang akan membangun masa depan?
Sudah saatnya kita menegaskan Berbeda boleh, memusuhi tidak, Syi’ah bukan musuh (Dalam hal ini Syiah moderat) kecuali yang memusuhi Islam itu sendiri, Persatuan umat Islam adalah kebutuhan zaman, bukan hanya mimpi. Syiah Ekstriimis adalah musuh bersama karena menyimpang dari ketauhidan Islam.
Berikut Wawancara eklusive Syiah vs Sunni? Penjelasan Lengkap Agar Umat Tak Terpecah “Jika Syiah moderat dan Sunni bisa duduk bersama, maka umat Islam akan lebih kuat dari segala propaganda yang ingin memecah belah kita.” Ustadz Haris Al-Fathani, pemerhati dunia Islam dan persatuan mazhab
SpiritKita: Assalamu’alaikum, Ustadz Haris. Akhir-akhir ini banyak sekali umat Islam bingung dengan pemberitaan soal Syiah, Iran, dan juga perang di Timur Tengah. Bolehkah dijelaskan sebenarnya apa yang membedakan Syiah ekstremis dan Syiah moderat?
Ustadz Haris: Wa’alaikumussalam warahmatullah. Tentu, ini pertanyaan yang penting dan sayangnya sering tidak dijelaskan secara utuh kepada umat. Syiah itu tidak tunggal. Seperti Sunni juga banyak variasinya, Syiah pun ada yang ekstrem dan ada yang moderat. Syiah ekstremis, misalnya, meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan, atau bahwa Al-Qur’an telah dirubah ini jelas sesat, dan bahkan ulama-ulama besar Syiah sendiri menolaknya. Tapi Syiah moderat, seperti mayoritas Syiah di Iran, Irak, dan Lebanon, tetap berpegang pada rukun Islam, mencintai Nabi Muhammad menghormati Al-Qur’an, dan menjaga akhlak terhadap umat Islam lainnya.
SpiritKita: Tapi banyak orang di Indonesia menyamaratakan bahwa semua Syiah itu sesat dan berbahaya, termasuk Iran. Bagaimana menurut Ustadz?
Ustadz Haris: Itulah kesalahan besar kita: menyamaratakan. Kita lupa, dalam Sunni juga ada yang ekstrem — seperti ISIS atau kelompok takfiri. Tapi tidak berarti semua Sunni seperti itu, kan? Begitu juga dengan Syiah. Kita harus bisa bedakan antara Iran sebagai negara dengan Syiah sebagai mazhab. Dan bahkan dalam Iran sendiri, tidak semua Syiahnya ekstrem.
Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran, berulang kali mengajak umat Islam untuk bersatu. Beliau juga mengecam keras orang-orang Syiah yang menghina sahabat Nabi atau istri Nabi.
SpiritKita: Bagaimana dengan tuduhan bahwa Iran hanya memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingannya sendiri?
Ustadz Haris: Saya melihat itu terlalu dangkal. Kalau kita perhatikan secara objektif, justru Iran adalah satu-satunya negara besar yang konsisten membela Palestina dengan nyata, bahkan memberi dukungan senjata dan pelatihan kepada kelompok perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam. Pertanyaannya, negara-negara Arab Sunni yang kaya raya malah diam — lalu siapa yang betul-betul berdiri membela Palestina?
SpiritKita: Jadi ketika Iran menyerang balik Israel atau Amerika, itu bukan karena Syiah melawan Sunni?
Ustadz Haris: Bukan. Itu bukan perang Sunni-Syiah. Itu adalah bagian dari konflik geopolitik, dan banyak umat Islam terjebak karena media Barat menggiring opini bahwa Syiah Iran adalah musuh Islam. Padahal justru mereka sedang melawan penjajahan Israel dan dominasi Amerika di Timur Tengah.
SpiritKita: Apa pesan Ustadz kepada umat Islam di Indonesia yang sering termakan oleh narasi provokatif soal Syiah?
Ustadz Haris: Pesan saya sederhana: Jangan mudah percaya pada informasi yang membenturkan sesama Muslim. Belajarlah dari sumber-sumber yang adil, bukan yang hanya ingin membuat kita saling membenci. Syiah moderat dan Sunni sejatinya punya banyak kesamaan. Yang membedakan hanya pandangan sejarah dan struktur kepemimpinan. Tapi akidah utama, kecintaan pada Nabi, dan semangat membela Islam itu yang menyatukan kita.
“Jika kita terus bertengkar soal mazhab, maka Zionis dan musuh-musuh Islam akan terus tertawa.”
SpiritKita: Lalu bagaimana harapan Ustadz untuk umat Islam ke depan?
Ustadz Haris: Saya berharap umat Islam bersatu. Jangan biarkan kita dipecah oleh isu mazhab. Jangan mau diadu domba oleh propaganda Israel, Amerika, atau siapa pun yang senang melihat kita pecah. Kita harus kembali ke nilai ukhuwah Islamiyah. Kita bisa berbeda mazhab, tapi tetap satu Islam.nKita bisa beda cara shalat, tapi kiblat kita tetap satu: Allah dan Rasul-Nya. Dan kita harus mendukung siapa pun yang membela Palestina, tak peduli dari mazhab mana. Karena ini bukan soal Sunni atau Syiah. Ini soal kemanusiaan. Soal penjajahan. Soal tanggung jawab Islam global.
SpiritKita: Terima kasih banyak, Ustadz Haris. Semoga pesan ini sampai kepada seluruh pembaca kami.
Ustadz Haris: Aamiin. Semoga SpiritKita.id terus menjadi jembatan informasi yang adil, inspiratif, dan menyejukkan.
SpiritKita.id mengajak seluruh umat Islam untuk tidak termakan provokasi, tidak menyamaratakan perbedaan, dan tidak melupakan siapa musuh sesungguhnya: perpecahan, penjajahan, dan propaganda adu domba.