Floating Image
Floating Image
Senin, 31 Maret 2025

Tekanan Sosial atau Godaan Lidah? Fenomena Muslim yang Makan Babi


Oleh Restu Nugraha
22 Maret 2025
tentang Inspiratif
Tekanan Sosial atau Godaan Lidah? Fenomena Muslim yang Makan Babi - Sport Jabar

Penyebutan untuk orang muslim yang memakan daging babi bisa beragam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan.

1653 views

SPIRITKITA.ID - Seperti sudah diketahui bersama, dalam Islam, daging babi memang jelas diharamkan berdasarkan Al-Qur'an (Surah Al-Baqarah: 173, Al-Ma'idah: 3, dan lainnya). Namun, masih ada beberapa orang Muslim yang tetap mengonsumsinya, baik karena ketidaktahuan, keterpaksaan (misalnya dalam kondisi darurat), atau karena alasan pribadi.

Tentu saja fenomena ini sebuah hal yang sangat disayangkan. Penyebutan untuk orang muslim yang memakan daging babi bisa beragam, tergantung dari sudut pandang yang digunakan.

1. Tidak Tahu atau Tidak Sengaja – Jika seseorang tidak tahu atau tidak sengaja mengonsumsi babi, biasanya tidak ada sebutan khusus, hanya dianggap sebagai kekeliruan.

2. Muslim yang Kurang Taat – Bisa disebut sebagai Muslim yang kurang menjalankan ajaran agamanya dengan ketat.

3. Liberal/Sekuler – Dalam konteks tertentu, mereka yang tidak terlalu terikat dengan aturan halal-haram sering disebut sebagai Muslim liberal atau sekuler.

4. Murtad (jika disengaja dan menolak aturan Islam) – Dalam pandangan yang lebih konservatif, ada yang menganggap bahwa seseorang yang sengaja dan terang-terangan menolak hukum Islam bisa dikategorikan keluar dari Islam (murtad).

Namun, penting diingat bahwa setiap orang punya perjalanan keimanan masing-masing, dan biasanya istilah-istilah ini digunakan secara subjektif tergantung dari perspektif individu atau komunitasnya.

Berikut Redaksi sajikan sebuah kisah perjalanan keimanan seorang muslim dimana lingkungannya mayoritas non muslim.

Ketika Iman Diuji: Muslim yang Tahu Babi Itu Haram, Tapi Tetap Memakan

"Saya tahu ini haram, tapi ya gimana... Enak juga sih."

Kalimat ini keluar dari mulut Arman (bukan nama sebenarnya), seorang Muslim yang hidup di luar negeri. Ia tumbuh dalam keluarga Muslim yang taat di Indonesia, tetapi setelah bekerja di Eropa, kebiasaannya berubah. Salah satunya adalah mulai mengonsumsi daging babi.

Meja makan kantornya, daging babi hampir selalu ada. Rekan-rekan kerjanya menyantap bacon renyah di pagi hari, menikmati ham di sandwich saat makan siang, dan menyajikan babi panggang dalam acara makan malam bersama. Awalnya, Arman menolak. Namun, semakin lama ia merasa tidak enak jika terus menolak.

"Saya tahu babi haram. Dari kecil saya diajarkan itu. Tapi kalau saya terus menghindar, saya merasa seperti orang aneh. Teman-teman bilang, 'Coba aja dulu, enak kok! Lagian kan cuma makanan, bukan berarti keimanan kamu hilang.' Akhirnya saya coba."tuturnya.

Saat pertama kali mencicipi, ia merasa ada yang mengganjal dalam hati. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri kalau rasanya memang enak.

"Lama-lama jadi biasa. Bahkan, saya mulai menikmatinya." imbuhnya.

Ketika Syariat Berhadapan dengan Tekanan Sosial

Kasus seperti Arman bukanlah hal yang langka. Banyak Muslim yang hidup di lingkungan mayoritas non-Muslim mengalami dilema serupa. Tekanan sosial sering kali membuat seseorang perlahan-lahan mengendurkan prinsip yang dulu mereka pegang teguh.

Menurut seorang psikolog sosial, manusia secara alami ingin diterima dalam lingkungan sosialnya.

"Dalam banyak kasus, seseorang bisa mengorbankan keyakinan pribadinya demi merasa menjadi bagian dari kelompok," terangnya.

Apalagi jika lingkungan sekitarnya memandang aturan halal-haram sebagai sesuatu yang tidak relevan. Ditambah lagi, ada sebagian orang yang menggunakan pendekatan Islam liberal untuk membenarkan pilihan mereka.

"Saya tetap Muslim, masih salat, masih percaya Tuhan. Cuma saya nggak mau terlalu fanatik. Ini kan cuma makanan," kata seorang narasumber yang juga mengalami hal serupa.
Namun, pertanyaannya: benarkah ini hanya sekadar makanan?

Mengapa Babi Diharamkan? Bukan Sekadar Aturan Agama

Sebagian orang mungkin berpikir bahwa larangan daging babi hanya sebatas aturan agama tanpa alasan ilmiah. Padahal, jika ditinjau lebih dalam, ada alasan kesehatan yang cukup serius mengapa Islam melarang konsumsi daging ini.

1. Risiko Infeksi Parasit dan Bakteri
Daging babi berisiko tinggi mengandung parasit berbahaya seperti: Cacing Trichinella spiralis, yang bisa menyebabkan penyakit trichinosis dengan gejala nyeri otot, demam, dan bahkan komplikasi serius. Cacing pita Taenia solium, yang bisa menyerang otak dan menyebabkan neurocysticercosis, penyakit yang dapat mengganggu fungsi saraf dan menyebabkan kejang.

2. Kandungan Lemak dan Kolesterol Tinggi
Daging babi memiliki kadar lemak jenuh yang tinggi, yang bisa meningkatkan risiko: Penyakit jantung, Hipertensi, Obesitas.

3. Hormon dan Antibiotik Berlebih
Babi yang diternakkan secara modern sering diberi hormon pertumbuhan dan antibiotik, yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia dalam jangka panjang.

Seorang dokter spesialis gizi, mengatakan. "Dari sisi medis, lebih baik mengonsumsi daging ayam, ikan, atau sapi yang lebih kaya nutrisi dan lebih rendah risiko infeksi."terangnya.

Jadi, larangan Islam terhadap daging babi bukan sekadar aturan tanpa alasan, tetapi juga perlindungan bagi kesehatan manusia.

Godaan Lidah atau Ujian Iman?

Di era globalisasi ini, makanan halal bukan lagi sulit ditemukan, bahkan di negara non-Muslim. Banyak restoran halal tersedia, dan alternatif protein lain sangat melimpah. Jika demikian, apakah benar alasan utama seseorang mengonsumsi babi adalah keterpaksaan? Atau ini lebih kepada godaan lidah dan lemahnya prinsip?

Ustaz Ahmad Fauzi menegaskan bahwa keimanan seseorang diuji ketika ia dihadapkan pada pilihan.

"Iman yang kuat bukan berarti tidak pernah diuji. Tapi bagaimana kita tetap teguh dalam ujian itu. Jika hanya karena tekanan sosial atau rasa ingin tahu kita melanggar aturan agama, maka di mana letak ketaatan kita?" tandas Ustadz muda ini.

Dalam Islam, ada keringanan dalam kondisi darurat—misalnya dalam situasi kelaparan ekstrem di mana tidak ada makanan lain. Namun, jika hanya karena alasan selera atau ingin diterima di lingkungan pergaulan, maka itu bukanlah darurat, melainkan kelalaian dalam beragama.

Pesan yang ingin disampaikan

Kisah Arman dan banyak Muslim lain yang memilih untuk mengonsumsi babi mengingatkan kita bahwa ujian iman bisa datang dari berbagai arah. Tidak selalu dalam bentuk musibah besar, tetapi juga dalam godaan kecil yang jika dibiarkan bisa melemahkan prinsip.

 "Saya sadar ini salah, tapi saya sudah terlanjur terbiasa."

Kebiasaan yang salah tidak akan menjadi benar hanya karena dilakukan berulang kali. Dan sekecil apa pun pelanggaran, jika terus dilakukan, lama-lama akan terasa biasa.

Sebagai Muslim, kita dihadapkan pada pilihan: apakah tetap berpegang teguh pada syariat atau membiarkan prinsip kita terkikis sedikit demi sedikit?

Jawabannya ada di tangan kita sendiri. "wallahu a'lam bishawab"

Baca Juga : Mengenal Sisi Lain Bulan Ramadan: Tantangan dan Harapan

Baca Juga : 
Benarkah Sarapan yang Baik Bisa Membuat Masa Penuaan sehat ?

(*)





Tekanan Sosial atau Godaan Lidah? Fenomena Muslim yang Makan Babi - Sport Jabar

Bahaya makan daging babi dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang berbahaya bagi yang mengkonsumsinya.

Penulis

Restu Nugraha

Berita Lainnya dari Inspiratif

  • Oleh: Restu Nugraha
  • 23 September 2024
Begini Nih Jadinya Jika Pacaran Tanpa Batas
  • Oleh: Restu Nugraha
  • 23 September 2024
Calvin Verdonk Berharap Segera Bertemu Sang Ayah